Minggu, 16 September 2007

sejarah pailaimbang

Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).

Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.

Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.

Hubungan Palembang dengan Demak
Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.

Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.

Hubungan Palembang dengan Mataram
Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.

Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.

Hubungan Palembang dengan VOC
Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.

Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada.

Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).





Sketsa yang tertua mengenai Kraton Palembang, dibuat pada tahun 1659, sesaat sebelum Kraton dan Kota Palembang Lama ini dibakar habis oleh Kompeni











Suasana Perang Palembang – VOC tahun 1659

Perang Palembang — Kompeni yang pertama dimulai 4 November 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurangajaran hasil wakil VOC di Palembang, dengan armada terbesar di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Palembang akhirnya dapat direbut Belanda pada tanggal 23 November 1659. Keraton Kuto Gawang dan permukiman penduduk, dan tempat orang-orang Cina, Portugis, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Kuta tersebut dibakar habis selama 3 hari dan 3 malam. Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan).[infokito]

Wallahua’lam

Strategi Budaya Mencari Titik Temu Islam-Jawa

Mh Zaelani Tammaka
MASALAH toleransi tetaplah menjadi masalah yang senantiasa urgen bagi masyarakat yang pluralistis-khususnya dari segi agama-seperti di Indonesia. Bermacam upaya dilakukan untuk menangani masalah itu. Di antara upaya tersebut adalah mencari titik temu (kalimatus sawa) di antara agama-agama yang ada. Namun demikian, upaya mencari titik temu sering seperti terbentur tembok yang tebal ketika masing-masing pihak merasa superior di antara pihak yang lain. Di luar itu, problem yang menghadang adalah bahwa pencarian titik temu tersebut dikhawatirkan akan merusak otentisitas ajaran suatu agama. Inilah yang kemudian tercermin pada munculnya gerakan-gerakan pemurnian agama, khususnya di kalangan Islam. Karena itu, perlu dicarikan jalan keluar bagaimana bisa membangun suatu praktik keagamaan yang terbuka, egalitarian, namun tidak mengorbankan otentisitas suatu agama.

Di masa lalu, khususnya pada zaman kerajaan-kerajaan Islam pasca-Demak, masalah semacam ini juga sudah terjadi, khususnya ketika hegemoni kekuasaan pesisiran (Pesisir Utara Pulau Jawa) mulai melemah dan kekuasaan mulai bergeser ke daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena ketika itu corak karakter masyarakat pesisiran yang maritim dan masyarakat pedalaman yang agraris jelas berbeda. Ketika transportasi masih mengandalkan laut, daerah pesisiran jelas lebih diuntungkan dan lebih mungkin bergaul dengan banyak pihak, khususnya pihak asing. Dengan begitu, masyarakat pesisiran terasa lebih dinamis, kosmopolit, mudah beradaptasi dan cepat menerima nilai-nilai baru.


Kedatangan Islam, sebagai suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru ketika itu. Sebelum itu, masyarakat Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu dan Buddha, di samping nilai-nilai budaya asli. Sesuai dengan kondisi lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih cepat tumbuh dan terintegrasi di masyarakat pesisiran. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh dan berdiri Kerajaan Demak, maka pertumbuhan Islam semakin terasa hegemonik. Hal ini, selain faktor historis adanya peran para wali penganjur Islam, karena posisi Demak memang terletak di kawasan pesisiran. Namun kemudian, ketika hegemoni Demak mulai surut dan pusat kekuasaan mulai bergeser ke selatan, maka mau tidak mau Islam harus berbagi kembali dengan nilai-nilai lama (Hindu, Buddha dan nilai-nilai lokal lainnya) yang masih dianut oleh masyarakat daratan (pedalaman) di Jawa.


Di tengah situasi yang demikian ini, penguasa baru di kerajaan-kerajaan Islam pasca-Demak, khususnya Mataram Islam, tentu tetap memandang perlu membangun integrasi wilayahnya. Posisinya yang berada di pedalaman, mau tidak mau membuat Mataram Islam harus mulai menghitung kekuatan-kekuatan lokal masyarakat pedalaman, basis utama penyangga kekuasaannya. Namun demikian, kekuatan pesisiran yang kental dengan corak Islamnya tidak boleh diabaikan begitu saja. Dari sinilah, upaya pencarian titik temu antara Islam dan Jawa mulai digalakkan. Strategi budaya untuk membangun pertemuan nilai itu di antaranya lewat "subversi" nilai melalui karya sastra.


Warisan dari Kedhung Kol

Serat Suluk Saloka Jiwa merupakan suatu karya Raden Ngabehi (RNg) Ranggawarsita (1802-1873 M/1728-1802 Jw). Namun, seperti ditulis Simuh (1991: 74-80), tampaknya karya ini merupakan turunan karya Ranggawarsita, hanya saja nama penurunnya tidak dicantumkan di dalamnya. Yang pasti karya ini disebutkan sebagai warisan dari Kedhung Kol (Yasadipuran), suatu tempat yang kini berada di sebelah timur Pasar Kliwon, Solo. Hal ini terungkap dalam dua bait penutup:


Tamat sampun/ panedaking serat suluk/ luluri wijangan/ wijang-wijanganing wiji/ winih sangking Kedhung Kol saloka jiwa//

Wit anurun katiten kaping nem nuju/ Jumadilakirnya/ Ehe sengkalaning warsi/ titengeran cipta catur ngesthi tunggal//


Artinya:

Telah selesai penurunannya serat suluk, melestarikan ujaran, ajaran serta Seloka Jiwa warisan dari Kedhung Kol. Mulai diturun tanggal enam Jumadil Akhir tahun Ehe dengan angka 1841.


Karena yang tinggal di Kedhung Kol bukan hanya Ranggawarsita, namun juga para leluhurnya, baik Yasadipura I dan putranya Yasadipura II, yang merupakan kakek Ranggawarsita, maka bisa saja karya ini merupakan warisan dari kakek dan kakek buyutnya tersebut. Namun demikian, penurunnya hampir dapat dipastikan Ranggawarsita sendiri, mengingat beliau lahir tahun 1802 M dan wafat pada 1873 M (dan tahun penurunan suluk, yakni 1841, juga diperkirakan merupakan tahun Masehi). Kali pertama suluk ini diterbitkan oleh Penerbit Albert Rusche & Co, pada tahun 1915, dalam huruf Jawa berbentuk sekar macapat.


Namun, jika ditilik dari ciri-cirinya, tampaknya kitab ini merupakan karya asli Ranggawarsita. Di antara ciri-ciri tersebut, misalnya, adanya candrasangkala atau suryasangkala, yaitu angka tahun yang dijelmakan dalam kalimat-kalimat yang sesuai dengan soal atau tujuan yang ditulis dalam karangannya. Disebut candrasangkala jika merujuk angka tahun Jawa, sedangkan suryasangkala merujuk angka tahun Masehi. Dalam Suluk Saloka Jiwa, candrasangkala atau suryasangkala tersebut terdapat kalimat di bait penutup, "...cipta catur ngesthi tunggal", yang berarti angka tahun 1841. Ciri-ciri yang lain, juga adanya sandiasma, yaitu nama pengarang yang dirahasiakan dalam berbagai sisipan dalam kalimat atau gatra (bagian/bait) atau dalam pada (bait). Dalam catatan Kamajaya (1980: 19), pujangga Ranggawarsita merupakan perintis dalam hal ini. Sandiasma tersebut terdapat dalam kutipan berikut:


rarasing gita wiyata/ dénta ngastawa ngastuti/ ngayut waluyéng jiwangga/ berat tyas murta birai/ ijrah ijiring dhiri/ rongkot rungsiting pangangkuh/ galong gêlênging cipta/ warsitaning pra muslimin/ sinukarta rong gatra trus warsitaya.


Kata-kata atau suku kata dalam cetak tebal dalam kutipan di atas, jika dirangkai akan merujuk nama Raden Ngabei Ranggawarsita. Karena itu, dalam tulisan ini, Suluk Saloka Jiwa dipandang sebagai karya asli Ranggawarsita.


Senjakala Sastra "Kapujanggan"

Ranggawarsita merupakan pujangga istana Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sebagai penulis istana, dia tentu masih mewarisi tradisi sastra kapujanggan, yaitu tradisi sastra istana, semacam sastrawan negara, yang menulis untuk kepentingan istana atau kerajaan. Bahkan, dalam banyak tempat, Ranggawarsita sering disebut sebagai pujangga pungkasan atau pujangga penutup dalam tradisi keraton-keraton Jawa. Namun demikian, gelar pujangga pungkasan ini seringkali dianggap sebagai mitos, karena seakan-akan setelah dia tidak ada lagi pujangga (istana) Jawa.


Padahal, pada kenyataannya setelah itu masih ada pujangga istana, yang bertugas sebagai abdi dalem carik (juru tulis) di istana. Ada pula tafsir yang mengatakan bahwa gelar pujangga pungkasan ini terkait pada kenyataan bahwa sepeninggal Ranggawarsita, raja tidak lagi mengangkat seorang pujangga (pengarang) untuk menuliskan pikiran-pikirannya. Tafsiran yang lain, gelar ini sebagai bagian untuk mitos untuk memberi legitimasi jalur "keislaman" Ranggawarsita, karena gelar ini mengingatkan adanya kenabian terakhir (khatamul anbiya) yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW dalam ajaran Islam.


Namun, pada sisi yang lain, gelar pujangga pungkasan ini seakan justru menjadi sebuah ironi bagi runtuhnya tradisi sastra kapujanggan akibat transformasi budaya yang berkembang kala itu. Transformasi budaya tersebut tidak lain dipicu oleh semakin hegemoniknya kekuasaan pemerintah kolonial, sehingga raja-raja Jawa tidak lagi membutuhkan legitimasi dari para pujangganya, melainkan oleh kekuasaan pemerintah kolonial-dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda. Gambaran tentang transformasi budaya tentang runtuhnya tradisi sastra kapujanggan ini digambarkan dengan amat jitunya oleh sejarawan Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa, 1912 - 1926 (1997:9):


Tidak ada yang dapat lebih menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh RNg Ranggawarsita saat itu. Melalui kemampuan bahasanya ia melegitimasi kekuasaan. Ia adalah pujangga istana Kesunanan yang tidak terpakai lagi karena urusan legitimasi budaya telah diberikan pada Belanda. Dengan demikian, yang menjadi patron baginya bukan lagi istana Sunan, melainkan para Javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang mengembangkan kesusastraan Jawa modern.


Dengan demikian, apa yang dikatakan Takashi Shiraishi bukan saja berakhirnya tradisi kapujanggan, namun juga berakhirnya para sastrawan Jawa berpatron pada istana (Mataram), melainkan kepada para Javanolog, yang kebanyakan justru berkebangsaan Belanda. Namun demikian, posisi Ranggawarsita sebagai sastrawan istana tetap penting untuk digarisbawahi, meskipun sebenarnya berada pada posisi senjakala, setidak-tidaknya untuk memosisikan karya-karya Ranggawarsita dalam kultur politik Jawa dan posisinya yang masih secara resmi sebagai abdi dalem istana. Apalagi, keindahan bahasa karya-karya Ranggawarsita, seperti juga diakui oleh Takashi Shiraishi, telah menetapkan standar artistik pada zamannya, karena itu posisinya tetap legendaris.


Di luar itu, karya-karya Ranggawarsita juga disebarkan lewat proses cetak, sehingga lebih bisa menjangkau khalayak yang lebih luas, termasuk bagi kalangan Javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa. Hal ini berbeda dengan pujangga sebelumnya, yang penyebaran karya-karyanya kebanyakan masih lewat proses salinan tangan. Atas posisinya yang demikian ini, karya-karya Ranggawarsita terasa lebih memiliki daya tekan sosiologis yang kuat, yang itu didapat bukan semata-mata posisinya sebagai pujangga keraton, tetapi juga faktor prestasi artistiknya.


Isi dan Ajaran "Suluk Saloka Jiwa"

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu, didorong oleh rasa keinginannya yang besar mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke Negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaan Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap sebagai dewa Hindu, namun batinnya telah menganut Islam.


Demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan, sesampainya di Negeri Rum, Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para ulama besar ahli sufi kenamaan di Rum yang dipimpin Seh Ngusman Najid. Musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi): Seh Ngusman Najid, Seh Suman sendiri, Seh Bukti Jalal, Seh Brahmana, dan Seh Takru Alam.


Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya "diilhami" oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas 'Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma'asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.


Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.


Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma'inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.


Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs (nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah (Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.


Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan "Kesehatan Lahir dan Batin" bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut empat macam tingkatan nafsu manusia: ammarah (egosentros), supiyah (eros), lawwamah (polemos), dan muthmainah (religios). Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.


Sinkretisme atau Varian Islam?

Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa? Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa? Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antarnilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang.


Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipan pupuh berikut ini:


Yata wahu/ Seh Suman sareng angrungu/ pandikanira/ sang panditha Ngusman Najid/ langkung suka ngandika jroning wardoyo//Sang Awiku/ nyata pandhita linuhung/ wulange tan siwah/ lan kawruhing jawata di/ pang-gelare pangukute tan pra beda//


Artinya:

Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan.


Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita telah mengesahkan "agama ganda" bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, "Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam" (Simuh; 1991: 77).


Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan asli. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam. Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).


Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri-priayi-abangan-Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu. Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain. Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. "Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan... sangat sepele," demikian tulis Woodward (1999: 3).


Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.


Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis: "Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik." (ibid: 4-5).


Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.


Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan "menyeleweng" dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:


Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme"....


Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake... Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah "disubversi" sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.


Dari Mitis ke Epistemologis

Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan "kita" versus "mereka", dan karena itu "Jawa" dan "Islam" berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir "mitis" ke pola berpikir "epistemologis.


Transformasi berpikir "mitis" ke "epistemologis" adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang "tidak berjarak" dengan alam menuju cara berpikir yang "mengambil jarak" dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir "mitis", manusia berada "dalam penguasaan" alam.


Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.


MH ZAELANI TAMMAKA Peminat studi sosial dan kebudayaan, salah satu penggiat Ndalem Padmosusastro Surakarta

Karto suwiryo

From: John MacDougall <>
Dari dodo@server.indo.net.id.
Sumber : Forum Keadilan 31 Juli 1995 Hal. 80 Rubrik : Kriminal
Aliran-aliran yang Menyimpang
Aliran yang berniat mendirikan NII ternyata tak hanya ada di Jakarta, tapi juga menyebar di Jateng dan Jabar. Biaya ke surga cuma Rp 200 ribu per kepala.
Galibnya, salon kecantikan adalah tempat untuk membuat orang jadi cantik, bukan untuk main politik. Apalagi politik yang bernafaskan ajaran agama yang dianggap menyimpang. Tapi, itulah yang terjadi di salon kecantikan Laris yang berlokasi di Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sejak beberapa bulan lalu, salon ini dimanfaatkan para penganut aliran Islam ala Karto Suwiryo sebagai salah satu tempat penyebaran aliran itu, yang ujung-ujungnya untuk mencapai cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Syukur, Ny. Fatimah, pemilik salon, cepat tanggap terhadap perilaku aneh para karyawannya yang menganut aliran menyimpang itu. Kecurigaannya berawal pada bulan puasa yang baru lalu. Ketika itu, ia sangat heran karena empat karyawatinya tak pernah mau mengikuti shalat tarawih. Ia tambah bingung lantaran melihat mereka begitu asyik membaca buku politik kenegaraan dan agama. Nah, berangkat dari kecurigaannya itulah, ia menugasi seo rang karyawati lainnya untuk melakukan penyelidikan. Hasilnya sungguh mengejutkan. Dua di antara empat karyawatinya yang ia curigai ternyata sangat rajin mengikuti berbagai pengajian yang diselenggarakan di dua rumah sewaan di Bekasi dan Pasar Minggu. Pengajian yang dipandu seorang ustad itu, menurut sebuah sumber, bukan hanya membahas soal agama, tapi juga politik. Tujuannya, kelompok ini bermaksud menghimpun dana dan massa demi berdirinya NII, seperti yang dicita-citakan almarhum Karto Suwiryo. Berdasarkan laporan itulah, Polres dan Kodim 0501 Jakarta Pusat bergerak. Menurut sebuah sumber FORUM di Kodim, aparat telah menangkap enam tersangka. Tapi kemudian dilepaskan lagi karena tidak diperoleh bukti yang memberatkan. Kendati demikian, tiga orang di antaranya terkena wajib lapor setiap hari. Sedangkan Mahmud alias Ino alias Imam yang menjadi salah seorang ustad dalam pengajian tersebut hingga sekarang masih belum diketahui rimbanya. Kegiatan aliran ini sangat rahasia dan penyebarannya dilaku kan orang per orang. Sehingga, kalau saja tak ada laporan,"
BK, Haryanto, dan M. Faried Cahyono Riset oleh: Sri Widodo

Kerajaan Islam di Sumatera

[sunting] Kerajaan Islam di Sumatera
Periode tahun tepatnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan memerlukan rujukan lebih lanjut.
Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad ke-13)
Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16)
Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad ke-17)
Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903)
Kerajaan Melayu Jambi
Kerajaan Melayu Riau